Sosok seperti Nurul sekedar contoh dari ribuan guru-guru yang berjasa
 tanpa mengharap pamrih besar dalam mencerdaskan generasi pelanjutnya. 
Sayangnya, seperti biasa, para pahlawan itu masih saja harus menjadi 
“Oemar Bakri” yang terus bertahan hidup dalam keprihatinan.
Ribuan Oemar Bakri tetap semangat mengajar murid-murid tercintanya 
meski gajinya sering ”disunat”. Bahkan ketika murid-muridnya sudah 
sukses, sosok Oemar Bakri tetap sederhana, dan nasibnya juga tak kunjung
 membaik. Tokoh rekaan karya Iwan Fals itu terus tergambar nyata dalam 
nasib banyak guru di Indonesia hingga kini.
Sejak bergulir kebijakan 20 persen anggaran negara bagi pendidikan, 
nasib guru agak terangkat. Tapi masih sangat banyak yang masih 
berkondisi seperti Omar Bakri. Dalam Surat Cinta Seorang Guru (Kompas, 12/12), terpapar kegelisahan laten para guru ketika inflasi terjadi, dan harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi.
Sebagian besar kehidupan para guru cenderung masih banyak ditopang 
kredit dan hutang. Gali lubang tutup lubang, istilahnya. Apalagi para 
guru yang berstatus tidak tetap di daerah-daerah. Tak sedikit dari 
mereka harus nyambi menjadi tukang ojek, becak, atau parkir untuk menambah penghasilan demi menjaga ”kepulan asap dapur” keluarganya.
Kehidupan mereka tak jauh berbeda dengan buruh pabrik, karyawan, maupun kuli serabutan
 lainnya. Wajar dan benar kelakar yang menyebutkan, ”Pikiran guru 
seperti kaum intelekual, tapi kerjanya seperti kuli.” Lantas, bagaimana 
guru akan dapat mengajar maksimal jika tenaga dan pikirannya tidak fokus
 karena masih memikirkan urusan lain?
Kian Sejahtera?
Berdasarkan amanat UUD 45, pemerintah diwajibkan menganggarkan 20 
persen dana dari Anggaran Pembangunan Nasional (APBN) untuk kepentingan 
pendidikan. Sayangnya, hasil gelar sidang uji materi (judicial review)
 Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Sisdiknas dan UU No 18 tahun 2006 
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) pada 20 
Februari 20O3 silam, telah memutuskan masuknya elemen gaji guru dalam 
dalam komponen anggaran pendidikan nasional.
Hasilnya, anggaran pendidikan pun masih tidak beranjak dari jumlah 
yang telah ada selama ini. Penambahan alokasi elemen gaji guru, hanya 
menggelembungkan komulasi prosentase anggaran pendidikan yang telah 
diraih pemerintah untuk mendekati angka 20 persen.
Bersamaan dengan itu, anggaran untuk kesejahteraan guru pun harus 
kejar mengejar, bahkan potong memotong, dengan anggaran perbaikan sarana
 prasarana pendidikan, BOS dan lainnya dari keseluruhan anggaran 
pendidikan. Anggaran pendidikan yang kini tercantum Rp 49,7 triliun pun 
harus dipotong 15 persen untuk gaji guru yang semestinya dialokasikan 
dari alur lain yang sesungguhnya menjadi tanggungjawab pemerintah.
Meski sementara ini pemerintah dinilai cukup berhasil dalam 
meningkatan kesejahteraan guru melalui realisasi tunjangan profesi, tapi
 banyak kalangan memandang upaya ini masih menyisakan persoalan bagi 
guru-guru non Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau guru honorer.
Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), jumlah 
guru honorer di Indonesia saat ini tercatat 922 ribu orang. Terdiri dari
 472 ribu orang di sekolah negeri dan 450 ribu orang di sekolah swasta 
tersebar di seluruh kabupaten/kota.
“Saat ini para guru honorer mengajar tanpa jaminan apapun. Tak ada 
gaji tetap, tunjangan keluarga dan kesehatan, apalagi pensiun,” tutur 
mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita 
beberapa waktu lalu.
Sebagian besar guru honorer tersebut, imbuh Ginandjar, mengajar di 
sekolah-sekolah agama yang tak terjangkau sistem pembinaan pendidikan 
oleh pemerintah daerah, karena pendidikan agama berada di bawah 
kewenangan pemerintah pusat.
“Akibatnya banyak lembaga pendidikan agama di daerah seperti 
pesantren-pesantren terisolasi dari jangkauan pemerintah pada tingkat 
terdekat, yaitu pemerintah daerah,” lanjut Ginandjar.
Apalagi gaji guru honorer yang sementara ini mereka peroleh dari 
bakti mengajar masih di bawah rata-rata upah minimum regional (UMR). 
Oleh karena itu, Ginandjar meminta pemerintah segera mencari 
penyelesaian tuntas terhadap masalah ini dengan menentukan pendapatan 
minimum para guru honorer, meski secara bertahap.
Hari Guru Nasional yang diperingati setiap 25 November, semoga tidak 
hanya menjadi hari inventarisasi masalah yang dialami para guru, sang 
pahlawan tanpa jasa saja. Butuh kebijakan yang lebih memihak kepada 
peningkatan kesejahteraan mereka, tanpa diskriminasi PNS, honorer, atau 
lainnya.
http://majalahqalam.com/features/feature-pendidikan/guru-nasib-pelita-yang-tak-kunjung-terang/
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar